Selasa, 29 Mac 2011

mazahab,sejarah n hukum bermazhab...

Setelah Rasulullah SAW meninggal dunia banyak para sahabat yang berpindah dari satu negeri ke negeri lain, terutama pada masa pemerintahan Bani Umayyah. Di setiap negeri yang mereka diami, mereka mengajarkan apa yang mereka peroleh dari Rasulullah kepada penduduk di mana mereka tinggal. Di antara kota-kota tempat tinggal para sahabat tersebut akhirnya ada yang berkembang menjadi pusat perkembangan ilmu-ilmu keislaman yang di antaranya adalah ilmu fiqh Islam.
Kota-kota tersebut antara lain:
Madinah
Di kota ini berdiam seluruh khulafa Arrasyidin dan sejumlah besar ulama sahabat. Di antaranya adalah Abdullah bin Abbas (wafat 68 H), Abdullah bin Umar (wafat 73 H) sebelum keduanya pindah ke Makkah, Zaid Bin Tsabit (wafat 45H), dll. Dari merekalah para ulama tabiin (generasi sesudah sahabat) -seperti Said bin Musayyab, Urwah bin Zubair, Abu Bakar bin Abdurrahman, Sulaiman bin Yasar dll- yang tinggal di madinah menimba ilmu.
Imam Malik adalah seorang ulama Madinah yang hidup setelah generasi tabiin tersebut. Beliau adalah seorang mujtahid dan ulama besar yang diikuti oleh banyak orang, yang kepada beliaulah mazhab Maliki di nisbahkan. Mazhab Maliki ini juga dikenal dengan mazhab ahlul hadis. Sebab mereka lebih banyak mendasarkan ijtihad mereka pada hadis-hadis Nabi yang banyak mereka terima dari para tabiin yang meriwayatkannya dari Rasulullah.
Makkah
Di antara sahabat besar yang tinggal di Makkah adalah Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin Umar. Murid-murid beliau dari kalangan tabiin di antaranya adalah Atha’ bin Rabah (wafat 114 H), Thawus bin Kaisan (wafat 124 H), Sufyan bin Uyainah (wafat 198 H), Muslim bin Khalid al Jauzi dll. Muslim bin Khalid ini adalah guru Imam Syafii sebelum beliau pergi berguru kepada Imam Malik di Madinah. Sedangkan Sufyan bin Uyainah adalah salah satu guru Imam Ahmad bin Hambal.
Kufah
Di antara sahabat yang terkenal di kota ini adalah Abdullah bin Mash’ud (wafat 32 H) dan Ali bin Abi Thalib (wafat 40 H). Di antara para murid mereka adalah: Alqomah bin Qais Annakha’i (wafat 60 H) dan Qadli Syuraih (wafat 78 H).
Kepada merekalah para fuqaha Kufah seperti Ibrahim Annakha’i, Sufyan Ats-Tsauri, Abdullah bin Syubrumah dan Imam Abu Hanifah belajar ilmu fiqh. Namun hanya Abu Hanifahlah yang kemudian mempunyai pengikut hingga sekarang. Mazhab beliau dikenal dengan mazhab Hanafi atau mazhab ahlu arra’yi.
Sebab beliau dalam ijtihadnya banyak menggunakan ra’yu atau qiyas dan mengembangkan madzhabnya yang sampai sekarang banyak dianut oleh kebanyakan bangsa Mesir, Turki dan India. Ulama Kufah terkenal dengan mazhab qiyasnya karena mereka dalam memahami fiqh banyak menggunkakan qiyas.
Hasil-hasil ijtihad dan pendapat Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafii dan Imam Ahmad bin Hambal tersebut akhirnya dikembangkan dan dibukukan oleh pengikut-pengikutnya. Karenanya pengikut pengikut mereka masih wujud hingga saat ini, hasil-hasil ijtihad dan pendapat para imam itulah yang kemudian kita kenal dengan mazhab.
Sebenarnya selain mereka (mazhab empat) ada juga mazhab lain tapi sayang mazhab mereka kurang dikenal karena pendapat-pendapatnya tidak dibukukan seperti mazhab yang empat. Akan tetapi kita dapat menemukan pendapat-pendapat mereka dalam kitab-kitab mazhab yang masyhur. Di antara mazhab-mazhab yang kurang dikenal tersebut adalah :
Mazhab Auza’iyyah yang dinisbahkan kepada Abdurrahman Al Auza’i (wafat 113 H).
Mazhab Atstsauri yang dinisbahkan kepada Imam Sufyan Atstsauri (wafat 161 H) dll.
HUKUM BERMAZHAB
Pada beberapa tahun yang silam di Jepun, tepatnya di Tokyo diadakan konferensi Islam. Dalam acara itu ada seorang yang menanyakan bagaimana hukumnya bermazhab, apakah wajib bagi seseorang untuk mengikuti salah satu mazhab yang empat.
Pada kesempatan itu tampil syaikh Muhammad Sulthan Alma’sumi Al Khajandi, seorang pengajar di masjidil Haram Makkah. Beliau menyerukan kaum muslimin untuk kembali kepada yang pernah dilakukan oleh umat yang terbaik yaitu para sahabat.

Beliau menyeru untuk tidak bertaqlid buta (fanatik) pada salah satu mazhab tertentu. Akan tetapi dipersilakan mengambil dari tiap mujtahid atau ahli ijtihad dengan berdasarkan pada Alqur’an dan sunnah sebagai rujukan. Sebab sebenarnya mazhab-mazhab adalah pendapat dan pemahaman orang-orang berilmu dalam beberapa masalah.
Pendapat, ijtihad dan pemahaman ini tidak diwajibkan oleh Allah dan rasul-Nya untuk mengikutinya. Karena di dalamnya terdapat kemungkinan betul dan salah. Karena tidak ada pendapat yang seratus persen benar kecuali yang berasal dari Rasulullah SAW.
Sementara itu mengikuti salah satu mazhab yang empat atau lainnya bukanlah persoalan wajib atau sunnah. Seorang muslim tidak diharuskan mengikuti salah satunya. Dan bahkan orang yang mengharuskan untuk mengikuti salah satunya sebenarnya ia seorang fanatik. Begitulah menurut Syeikh Sulthan.
Selain dari itu ada lagi pendapat syekh Ramadlan Al Buthi dalam bukunya “Alla Mazhabiyyah , Akhtharu bida’in fil Islam” (Tidak bermazhab adalah bid’ah paling berbahaya dalam Islam). Beliau berpendapat wajib bagi seorang muslim untuk mengikuti salah satu mazhab yang masyhur (mazhab empat). Sebab mazhab-mazhab itu sudah teruji kesahihan nya. Namun begitu tidak boleh bagi yang telah mengikuti salah satu mazhab tertentu menyalahkan orang di luar mazhabnya.
Dalam buku tersebut beliau membahagi kaum muslimin sekarang menjadi dua golongan. Golongan muttabi’ dan golongan muqallid.
Orang yang telah faham (mengerti) Alqur’an dan sunnah wajib mengikuti mazhab tertentu sebagai kerangka berfikir, supaya ia tidak jatuh pada kesalahan. Golongan inilah yang disebut muttabi’
Sementara orang yang belum faham terhadap Alqur’an dan sunnah diharuskan mengikuti ulama yang dianggap mengerti dalam masalah agama. Golongan yang ke dua ini disebut muqallid.
Secara implisit beliau meniadakan kelompok yang ketiga, yaitu kelompok mujtahidin. Dengan kata lain beliau menutup pintu ijtihad untuk masa sekarang.
Inilah yang kemudian ditentang oleh Muhammad Abu Abbas dalam bukunya “Al mazahibul muta’ashshabah hiyal bid’ah aw bid’atut ta’ashshubi al Mazhabi” Beliau berpendapat justru pintu ijtihad masih terbuka sampai sekarang dengan alasan Nabi telah membuka pintu ijtihad ini dan beliau tidak pernah menutupnya. Karenanya tidak ada seorang pun yang berhak untuk menutup pintu ijtihad tersebut.
Oleh kerana itu Muhammad Abu Abbas membahagi kaum muslimin pada tiga golongan, yaitu: Mujtahid, muttabi dan muqallid.
Bagi mereka yang telah mampu untuk mengetahui dan mengkaji hukum-hukum langsung dari Alqur’an dan Sunnah walaupun hanya dalam masalah tertentu maka haram baginya bertaklid dalam masalah tersebut (golongan mujtahid).
Sedangkan bagi mereka yang hanya mampu untuk mengkaji pendapat-pendapat para ulama serta mengetahui metode istimbath (pengambilan hukum) mereka dari Alqur’an dan sunnah maka kewajiban mereka adalah ‘ittiba’. Jelasnya ittiba’ -mengutip perkataan Abu Syamah- adalah mengikuti pendapat seorang ulama lantaran nyata dalilnya dan shah mazhabnya.”
Adapun bagi orang yang betul-betul awam (tidak mengerti dalam masalah agama) BOLEH bagi mereka bertaklid dengan syarat, – sebagaimana dikatakan Imam Asysyatibi dalam ali’tishom-
1: Tidak boleh bertaklid kecuali pada orang yang benar-benar ahli di bidang agama.
2: Tidak boleh mengikat dirinya serta menutup dirinya dari mengikut selain mazhabnya, jika telah jelas padanya bahwa pendapat mazhabnya itu salah,maka wajib baginya mengikuti yang telah jelas kebenarannya.
Pendapat yang terahir inilah yang wasatah (pertengahan).
Sebab mengharamkan taklid secara mutlak adalah menafikan mereka yang benar-benar awam terhadap agama.
Sedangkan mewajibkan taklid dan menutup pintu ijtihad berarti menghilangkan universalitas Islam yang senantiasa relevan dan responsive terhadap perkembangan zaman. Padahal banyak hal-hal baru yang tidak bisa dijawab dan disikapi kecuali dengan ijtihad. Jelasnya setiap orang perlu ditempatkan sesuai dengan kemampuan dan kondisinya.
Bererti fenomena bermazhab adalah sesuatu yang perlu dilihat berdasarkan kondisi orang per-orang, yang tentunya tidak boleh jadi umum semata.
Tidak boleh diharuskan secara mutlak dan tidak boleh dilarang secara mutlak pula.
Berkaitan dengan masalah bermazhab ini ada dua hal yang perlu dijauhi oleh setiap muslim:
Fanatisme (ta’ahshub) terhadap suatu madzhab tertentu seraya memonopoli kebenaran apalagi jika sampai menimbulkan perpecahan. Sebab setiap orang kecuali nabi memiliki potensi untuk salah, walaupun ia seorang mujtahid. Rasul bersabda : Barang siapa berijtihad dan ia benar maka baginya dua pahala, dan barang siapa berijtihad dan ternyata salah, maka baginya satu pahala.”
Tatabbu’ rukhas atau mencari-cari pendapat para ulama yang paling mudah dan sesuai dengan seleranya. Perilaku seperti ini berarti mempermainkan agama. Sebab ia menggunakan dalih agama untuk memperturutkan hawa nafsunya.
Wallahu a’lam bishshowab. (Syahid

Dialog masalah bermazhab

DIALOG

Dr. Said Ramadhan(DSR) : Bagaimana cara anda memahami hukum Allah? Apakah anda mengambil terus daripada Al-Kitab dan as Sunnah  atau mengambilnya daripada para Imam mujtahid?

 
penolak hujah bermazhab ,(PHB) : Saya akan meneliti pendapat para imam mujtahid serta dalil-dalilnya , kemudian saya mengambil keterangan yang paling mendekati dalil Al-kitab dan as Sunnah”.
(*Inilah cara lelaki ini mengeluarkan hukum. Pembaca tolong ingat hal ini)


DSR: Baiklah , kami ingin bertanya, apakah setiap orang Islam wajib meneliti dalil-dalil yang dikemukakan oleh para Imam mujtahid kemudian mengambil mana yang paling sesuai dengan al Quran dan as Sunnah?

PHB: Ya , benar (semua orang wajib teliti dalil-dali para Imam Mujtahid kemudian pilih mana yang tersesuai dengan al Quran dan Sunnah)

DSR: Kalau begitu maksudnya semua orang Islam kena memiliki kemampuan berijtihad seperti yang dimiliki para imam mazhab. Bahkan mereka harus mempunya memiliki kemampuan yang lebih sempurna kerana orang-orang yang mampu memutuskan pendapat para imam menurut dasar Al Kitab dan as Sunnah sudah tentu lebih pandai daripada kesemua imam itu”.
PHB : Sesungguhnya manusia terbahagi kepada tiga jenis iaitu mujtahid, muqallid dan muttabi;. Orang yang mampu membandingkan mazhab , kemudian menyaring mana yang lebih dekat kepada Al Kitab dan As Sunnah , adalah muttabi’ iaitu pertengahan antara muqallid dengan mujtahid”.
(* Di sini si lelaki tidak menjawab soalan. Pembaca diharap dapat faham permainannya. Di sini fahamlah kita bahawa jawatan dan peranan muttabi’ nampaknya seolah-olah lebih tinggi daripada mujtahid kerana mujtahid sendiri tidak membanding-bandingkan mazhab, menyaring pendapat-pendapat imam mazhab lalu memutuskan pendapat para imam mazhab tersebut. Inilah yang dimaksudkan oleh Syeikh sebagaisudah tentu lebih pandai daripada kesemua imam itu.”  )




DSR: Apakah sebenarnya kewajiban muqallid?
(* Syeikh faham kelonggaran hujah si lelaki lalu Syeikh mengikut saja peralihan yang dibuat oleh si lelaki)


PHB : Taqlid (* mengikut)kepada mujtahid yang sesuai dengannya.


DSR: Apakah berdosa seandainya taqlid secara terus-menerus kepada seorang imam dan tidak berpindah kepada imam yang lain?
PHB : Memang, hal itu hukumnya haram.
(* Bertaqlid terus kepada seorang imam seperti umat Melayu Nusantara yang sudah ratusan tahun bertaqlid kepada Imam Syafie dihukum haram oleh si lelaki. Rupanya sudah ratusan tahun umat Islam Melayu termasuklah para wali Allah, para ulama dan datuk nenek kita membuat pekerjaan haram)


DSR: Apakah dalilnya kalau hal itu memang haram?


PHB : Kerana ia menetapi sesuatu yang tidak diwajibkan oleh Allah.

DSR: Dengan qiraat  apakah Anda membaca Al Quran?”.


PHB : Dengan Qiraat Hafas.


DSR: Adakah anda selalu membaca Al Quran dengan Qiraat hafas, atau anda juga membaca Al Quran setiap hari dengan qiraat yang bermacam-macam?

PHB : Tidak, saya selalu membaca Al Quran dengan qiraat Hafas.


DSR: Mengapa anda menetapi  qiraat hafas, padahal Allah Azza wajalla tidak mewajibkan anda kecuali membaca Al Quran menurut riwayat yang diterima dari Nabi s.a.w. secara mutawatir?
(* Si lelaki telah terperangkap! Dia mengatakan haram kepada umat Islam yang berterusan mengikut satu-satu mazhab, tetapi harus pula bagi dirinya berterusan membaca ikut satu-satu qiraat. Nampak jelas hukum-hakamnya mengikut suka hati. Di bawah nanti akan lebih jelas bagimana dengan suka hati saja dia meletakkan/ mengeluarkan hukum dalam hal ehwal Islam)


PHB : Kerana saya tidak sempurna dalam mempelajari qiraat yang lain dan tidak mudah bagi saya untuk membaca Al Quran selain dengan qiraat Hafas.

DSR: Demikian pula halnya bagi orang yang mempelajari fikih menurut mazhab As syafie . dia tidak cukup sempurna dalam mempelajari mazhab lain dan tidak mudah baginya untuk mempelajari hukum agama selain menurut Imam as Syafie. Kalau anda mewajibkan kepadanya untuk mengetahui ijtihad para imam dan mengambil semuanya, ini bererti anda pun wajib mempelajari semua qiraat dan anda harus membaca semuanya. Kalau anda beralasan tidak mampu, begitu juga halnya dengan si muqallid tadi.
(* Syeikh faham yang si lelaki tak akan sampai ke mana dengan hujah-hujah yang longgar begitu, lalu Syeikh kemukakan soalan lain)




DSR: Ringkasnya, kami ingin bertanya kepada anda,  apakah alasan yang mewajibkan muqallid harus berpindah-pindah dari mazhab satu ke mazhab lain, padalah Allah Azzawa Jalla tidak mewajibkan seseorang untuk berpegang terus pada suatu mazhab tertentu , juga tidak mewajibkan seseorang berpindah-pindah terus dari satu mazhab ke mazhab lain?

PHB : Sesungguhnya yang haram ialah kalau seseorang mempunyai iktikad ( keyakinan) bahawa Allah memerintahkannya untuk terus-menerus menetapi mazhab tertentu.
DSR: Ini masalah lain dan apa yang anda katakan itu ada benarnya juga, tidak ada perbezaan pendapat. Tetapi masalah sekarang ialah bagaimana kalau terus-menerus menetapi imam tertentu dan dia tahu bahawa Allah Azza wa Jalla tidak mewajibkannya begitu. Apakah dia telah berdusta?

PHB : Tidak jika begitu.
(* Jelas- umat Islam contohnya di Nusantara yang bermazhab Syafie tidak melakukan perkara haram kerana mereka terus berpegang dengan Mazhab Syafie tetapi tidak pula mereka beranggapan Allah mewajibkan begitu)


DSR: Tapi , buku Syekh Khajandi yang anda pelajari menyebutkan hal yang berbeza dengan apa yang anda ucapkan . Ia secara tegas mengharamkan hal tersebut , bahkan pada bahagian tertentu dalam buku itu menyatakan kafir kepada orang yang menetapi secara berterusan seorang imam tertentu dan tidak mahu berpindah kepada yang lain.

PHB : Di mana ……?


DSR:  “ bahkan siapa yang menetapi seorang imam tertentu dalam setiap masalah , bererti ia fanatik yang salah dan taqlid buta, serta termasuk golongan yang memecah- belahkan agama, serta mereka pun berkelompok-kelompok”.

PHB : Yang dimaksudkan dengan  menetapi disini ialah meyakinkan wajibnya hal tersebut menurut syariat. Jadi dalam ibarat tersebut terdapat kekurangan.
(* Si lelaki berjaya mengelak dengan baik tetapi tafsiran begini memerlukan bukti penyokong)


DSR: Apakah bukti yang menunjukkan penulis buku tersebut bermaksud begitu? Mengapa anda tidak mengatakan bahawa penulis buku itu keliru?

(Atas pertanyaan ini, dia ( si lelaki) tetap berpendirian bahawa pernyataan dalam buku Halil Muslimun Bittibaa’I mazhabin mu’ayyanin Minal Mazaahibil Arba’ah dapat dibenarkan dan penulisnya pun tetap tidak salah kerana dalam pernyataan tersebut memang ada kekurangan)
(* Syeikh tidak mahu memanjangkan hal ini lagi kerana memang tidak akan ditemui bukti selain tafsiran si lelaki sendiri, maka Syeikh beralih kepada pertanyaan lain.)



DSR: Setiap orang Islam mengetahui bahawa mengikut seseorang imam tertentu daripada keempat-empat imam mazhab bukanlah termasuk kewajiban syariat, tetapi atas dasar pilihan (kesedaran ) orang itu sendiri.

PHB : Bagaimana boleh jadi begitu? Saya mendengar daripada banyak orang dan juga sebahagian ahli ilmu bahawa diwajibkan secara syariat untuk menetapi mazhab tertentu dan tidak boleh berpindah-pindah kepada yang lain.

DSR: Cuba anda sebutkan kepada kami seorang saja daripada orang awam atau ahli  ilmu yang menyatakan demikian.

(Dia kemudian berdiam sejenak dan berasa hairan dengan ucapan kami yang benar, bahawa sesungguhnya apa yang dia gambarkan (selama ini) adalah sebahagian besar manusia mengharamkan berpindah-pindah mazhab )


DSR: Anda tidak akan bertemu dengan orang yang bertanggapan keliru seperti itu. Memang pernah diriwayatkan bahawa pada zaman terakhir dinasti Uthmaniyah, mereka keberatan kalau ada seorang yang bermazhab Hanafi  berpindah ke mazhab lain. Hal ini kalau memang benar, termasuk fanatik buta yang terkutuk.
(* Maksudnya perbuatan segelintir orang tidaklah boleh dihukumkan kepada kebanyakan orang- ini kaedah asas yang sedia kita maklum. Si lelaki sudah tidak ada apa yang hendak dikata lalu Syeikh beralih kepada soalan lain))




DSR: Dari mana anda mengetahui  perbedaan antara muqallid dan muttabi.

PHB : Perbedaannya ialah dari segi bahasa.


(Kami pun mengambil kitab-kitab Lughah agar dia dapat menetapkan perbezaan makna bahasa dari dua kalimat tersebut, tetapi dia tidak menemukan apa-apa)

DSR: Sayyidina Abu Bakar r,a pernah berkata kepada seorang Arab Badwi yang menentang pajak dan perkataannya ini pernah di akui segenap Para Sahabat :
“ Apabila para muhajirin telah rela, kamu semua kenalah menyetujuinya (mengikuti)”.
Abu Bakar mengatakan “ taba’un’ (mengikuti ) yang bererti menyetujui (muwafaqah).


PHB : Kalau begitu, perbezaan makna kedua kata tersebut adalah dari segi istilah dan bukan hak saya untuk membuat suatu istilah.

DSR: Senang-sennag saja anda menjawab istilah, tetapi istilah yang anda buat tetap tidak akan mengubah hakikat sesuatu . Orang yang anda sebut muttabi’ , kalau dia mengetahui dalil dan cara melakukan istinbath darinya , bererti dia adalah mujtahid . Tetapi apabila tidak tahu dan tidak mampu melakukan istinbath , bererti dia mujtahid dalam sebahagian masalah dan muqallid dalam masalah lain. Oleh kerana itu, bagaimanapun juga pembahagian tingkatan seseorang hanya ada dua macam , yaitu mujtahid dan muqallid, dan hukumnya sudah cukup jelas dan diketahui.

 PHB : Sesungguhnya muttabi’ adalah orang yang mampu membezakan pendapat mujtahidin dan dalil-dalilnya, kemudian menguatkan salah satu daripadanya. Tingkatan ini berbeda daripada taqlid.

DSR:Kalau yang anda maksudkan “membezakan pendapat para imam mujtahid” ialah membezakan mana yang kuat dan mana yang lemah dari segi dalil, bererti tingkat ini adalah lebih tinggi daripada ijtihad. Apakah anda mampu berbuat demikian?

PHB : Saya akan lakukannya setakat kemampuan saya.
(*Hebatnya! Si lelaki secara tidak langsung mengakui yang dia mempunyai kemampuan yang lebih tinggi daripada berijtihad! Apabila telah sampai ke tahap sebegini, maka Syeikh faham tidak ada gunanya membincangkan hal tersebut lalu beralih persoalan)



DSR: Kami mendapat tahu yang anda telah memberi fatwa bahawa talak tiga yang dijatuhkan dalam satu majlis bererti jatuh satu talak saja. Apakah sebelum menyampaikan fatwa anda telah meneliti pendapat para imam mazhab serta dalil-dalil mereka , kemudian anda memilih salah satu dari pendapat mereka dan anda fatwakan ?.
Ketahuilah bahwa Uwaimir Al Ijlani telah menjatuhkan talak tiga kepada isterinya di hadapan Rasulullah s.a.w. Setelah ia bersumpah lian dengan isterinya, ia berkata  “ Saya akan berbohong kepadanya, Ya Rasulullah, bila saya menahannya, dan saya talak tiga”. Bagaimana pengetahuan anda tentang hadis ini dan kedudukannya dalam masalah ini, serta pengertiannya menurut mazhab sebahagian besar ulama dan menurut mazhab Ibnu Taimiyyah?


 PHB : Saya belum pernah melihat hadis ini.


DSR: Bagaimana anda boleh memfatwakan suatu masalah yang bertentangan dengan apa yang telah disepakati oleh keempat imam mazhab , padahal anda belum mengetahui dalil-dalil mereka, serta tingkatan kekuatan dalil tersebut .
Kalau begitu anda telah meninggalkan prinsip yang anda anuti , iaitu ittiba’ menurut istilah yang anda katakan sendiri. 
(Memang benar, kenyataan si lelaki ini bertentangan dengan kenyataan awalnya tadi iaitu “Saya akan meneliti pendapat para imam mujtahid serta dalil-dalilnya , kemudian saya mengambil keterangan yang paling mendekati dalil Al-kitab dan as Sunnah”. Yang dibuat tidak sama dengan yang diwarwarkan)


PHB : Pada waktu itu saya tidak memiliki kitab yang cukup untuk melihat dalil dari imam-imam mazhab.
(* Kalau sudah sedar yang diri sendiri tidak cukup maklumat/ sumber untuk keluarkan fatwa, mengapa dibuat hukum sendiri?)


DSR: Kalau begitu, apa yang mendorong anda untuk tergesa-gesa memberikan fatwa yang menyalahi pendapat jumhur kaum muslimin, padahal anda belumpun memeriksa dalil-dalil mereka?

PHB : Apakah yang harus saya perbuat ketika saya ditanya mengenai masalah tersebut, sedangkan kitab yang ada pada saya terbatas sekali?

DSR: Sesungguhnya cukup saja bagi anda untuk mengatakanSaya tidak tahu  tentang masalah ini”, atau anda terangkanan saja pendapat mazhab empat kepada si penanya, serta pendapat mereka yang berbeza dengan mazhab empat tanpa harus memberikan fatwa kepadanya dengan salah satu pendapat.
Demikianlah ,apa yang kami kemukakan ini sudah cukup untuk anda dan memang sampai disitulah kewajipan anda. Apatah lagi masalah itu tidak langsung berkaitan dengan diri anda sehingga anda memberikan fatwa dengan pendapat yang menyalahi ijma’ keempat-empat imam tanpa mengetahui dalil-dalil yang dijadikan hujah oleh mereka, kerana anda menganggap cukup dengan dalil yang ada pada pihak yang bertentangan dengan mazhab yang empat.
Anda berada dipuncak kefanatikan sebagaimana yang anda selalu tuduhkan kepada kami.
(*Si lelaki sebagimana kebiasaannya lain-lain penganut fahaman “La Mazhabiyyah” sering menuduh umat Islam yang mengikut mazhab sebagai taksub, tetapi kini terbukti dirinya pula yang taksub)


PHB : Saya telah menelaah pendapat keempat-empat imam dalam kitab Subulus Salam karya as Syaukani dan Fiqhus Sunnah karya As Sayyid Sabiq”.

DSR: Kitab yang anda sebutkan adalah kitab yang memusuhi keempat imam mazhab dalam masalah ini. Apakah anda rela menjatuhkan hukuman kepada salah seorang tertuduh hanya dengan mendengarkan keterangan saja, keterangan saksi-saksi dan keluarganya tanpa mendengarkan keteranga tertuduh lain?”.

PHB : Saya kira apa yang telah saya lakukan tidak patut dicela . Saya telah memberikan fatwa kepada orang yang bertanya dan itulah batas kemampuan paham saya.

DSR: Anda telah menyatakan sebagai muttabi’ dan kita semua kena menjadi muttabi’. Dan anda telah mentafsirkan bahwa ittiba’ ialah meneliti semua pendapat mazhab dan mempelajari dalil-dalil yang dikemukakannya. Kemudian mengambil mana yang paling mendekati dalil yang benar.
Namun apa yang telah anda lakukan ternyata bertolak kebelakang.
Anda mengetahui bahawa mazhab yang empat telah ijma’ bahwa talak yang dijatuhkan tiga sekaligus, bererti jatuh tiga. Anda mengetahui bahwa keempat imam mazhab mempunyai dalil tentang masalah ini, cuma anda belum melihatnya. Namun demikian , anda berpaling dari ijma’ mereka dan mengambil pendapat yang sesuai dengan keinginan anda. Apakah anda (*secara automatik) sejak dari mula telah yakin bahawa dalil-dalil keemppat-empat iamam mazhab itu tidak dapat diterima?


PHB : Tidak, cuma saya tidak melihatnya kerana saya tidak memiliki kitab-kitab tersebut.

DSR: Mengapa anda tidak mahu menunggu?. Mengapa anda tergesa-gesa  padahal Allah s.w.t tidak memaksakan anda untuk berbuat demikian?. Apakah kerana anda tidak melihat dalil-dalil para ulama jumhur yang dapat dipakai sebagai alasan untuk menguatkan pendapat Ibnu Taimiyyah? Apakah  fanatik yang anda anggap dusta itu tidak lain ialah apa yang anda telah lakukan?

PHB : Dalam kitab-kitab yang ada pada saya , saya telah melihat beberapa dalil yang cukup memuaskan dan Allah tidak membebani saya lebih dari itu.
(* Masih tidak mahu mengalah walaupun sudah terbukti salah)


DSR: Apabila seorang muslim melihat satu dalil dalam kitab yang dibacanya , apakah cukup dengan dalil tersebut ia meninggalkan semua mazhab yang berbeda dengan fahamannya sekalipun dia belum melihat dalil-dalil daripada mazhab-mazhab tersebut?

PHB : Cukup.


DSR: Ada seorang pemuda yang baru saja memeluk agama Islam , dan dia sama sekali tidak mengetahui pendidikan agama Islam. Lalu ia membaca firman Allah azza wajalla :
“Dan kepunyaan Allahlah timur dan barat , maka ke mana pun kamu menghadap , disitulah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmatnya ) lagi Maha Mengetahui”.
(Al Baqarah 115).
Pemuda tersebut lalu beranggapan bahawa setiap orang hendak melakukan solat boleh menghadap ke arah mana saja sebagaimana ditunjukkan oleh zahirnya lafaz ayat Al quran itu.
Kemudian ida mendengar bahwa keempat-empat imam mazhab telah bersepakat bahwa (*sesungguhnya) dia kena menghadap  Kaabah. Dia pula sedia maklum bahawa  para imam mempunyai dalil untuk masalah ini, cuma dia belum melihatnya saja. Apakah yang harus dilakukan oleh pemuda tersebut sewaktu dia hendak mengerjakan solat?
Apakah cukup dengan mengikuti panggilan hatinya saja kerana dia telah menemukan ayat Al Quran tersebut ataupun dia harus mengikuti imam-imam yang berbeda dengan fahamnya?.

PHB : Cukup dengan mengikuti panggilan hatinya.
(* Astaghfirullah… ini sangat berbahaya! Seandainya seorang muallaf ataupun orang Islam awam tiba-tiba membuka Al Quran lalu terjumpa ayat “Bunuhlah mereka (orang-orang kafir) di mana saja kamu menjumpai mereka”, bolehkah anda bayangkan apa yang akan terjadi?)


DSR:Meskipun dengan menghadap ke arah Timur misalnya? Apakah solatnya dianggap sah?
(* Dengan penuh kehairanan)


PHB : Ya, kerana dia wajib mengikut panggilan hatinya.
(*Rupanya hukum-hakam si lelaki dari golongan La Mazhabiyyah ini adalah mengikut panggilan hati!)


DSR: Andaikata panggilan hati pemuda itu mengilhami dirinya sehingga ia merasa tidak apa-apa berbuat zina dengan isteri tetangganya, memenuhi perutnya dengan khamar dan merampas harta manusia tanpa hak, apakah Allah akan memberikan syafaat kepadanya lantaran pangillan hatinta itu?

(Kemudian dia terdiam sejenak, lalu berkata…)

PHB : Sebenarnya contoh-contoh yang tuan tanyakan hanyalah     khayalan belaka dan tidak ada buktinya.

DSR: Bukan khayalan atau dugaan semata-mata (*Syeikh seorang ulama besar, tentu pelbagai pengalaman manusia telah dilaluinya), bahkan selalu terjadi hal seperti itu ataupun lebih aneh lagi.
Bagaimana tidak begitu, seorang pemuda yang tidak mempunyai apa-apa tentang Islam, Al Kitab dan As Sunnah, kemudian membaca sepotong ayat Al Quran yang dia fahami menurut apa adanya. Dia kemudian berpendapat bahawa boleh saja solat menghadap ke arah mana saja meskipun dia tahu bahawa solat kena menghadap kiblat (Kaabah).
Dalam kes ini, apakah anda tetap berpendirian bahwa solatnya sah kerana menganggap cukup dengan adanya bisikan hati nurani atau panggilan jiwa si pemuda tersebut? Disamping itu menurut anda , bisikan hati, panggilan jiwa dan kepuasan mental dapat memutuskan segala urusan (*dijadikan sumber untuk mengeluarkan hukum?). Pendirian ini jelas bertentangan dengan prinsip anda , bahawa manusia terbahagi tiga kelompok : mujtahid, muqallid dan muttabi’ (*kerana ternyata pula semua manusia adalah muttabi’/ mujtahid  termasuklah muallaf tadi).


(Setelah kami katakan demikian, ia menyatakan bahwa sebenarnya pemuda tersebut kenalah membahas dan meneliti. Apakah ia tidak membaca hadis atau ayat lainnya?)


DSR: Dia tidak memiliki cukup bahan untuk membahas sebagaimana halnya anda ketika membahas tentang masalah talak (*tadi).  Dia tak sempat membaca ayat-ayat lain yang berhubungan dengan masalah kiblat selain ayat di atas . Dalam hal ini apakah dia tetap kena mengikuti bisikan hatinya dengan meninggalkan ijma’ para ulama’?

PHB : Memang kena begitu (* muallaf tadi memang kena ikut bisikan hatinya dengan meninggalkan ijmk para ulama. Kalau muallaf saja sudah begitu, umat Islam lain tentulah lebih lagi layak begitu) kalau dia tidak mampu membahas dan menganalisis. Baginya cukuplah berpegang kepada hasil fikirannya sendiri dan ia tidaklah salah.

DSR: Ucapan (*pegangan) anda sangat berbahaya dan menakjubkan, dan kami akan siarkan...


PHB : Silakanlah tuan menyiarkan pendapat saya dan saya tidak takut.


DSR: Bagaimana anda akan takut kepada saya padahal anda tidak takut kepada Allah s.w.t. Sesungguhnya dengan ucapan tersebut anda telah membuang firman allah s.w.t :
            “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai ilmu jika kamu tidak mengetahui”.
(An Nahl: 43)
(*Syeikh Ramadhan menghukum orang sebegini sebagai “tidak takut kepada Allah”. Janganlah hendaknya kita menjadi salah seorang daripada mereka)


PHB : Tuan, para Imam tidaklah maksum yang terpelihara dari kesalahan. Mana boleh dia (si muallaf) meninggalkan yang maksum dan berpegang pada orang yang bukan maksum?

DSR: Yang terpelihara dari kesalahan adalah makna yang hakiki yang dikehendaki oleh Allah azza wa jalla dengan firmannya:
            “Dan kepunyaan Allahlah timur dan barat…”
Akan tetapi , fahaman “pemuda yang jauh sekali dari pendidikan Islam” sama sekali tidak maksum. 
Jadi masalahnya:
Ialah perbandingan antara dua kefahaman,
Iaitu fahaman atau pemikiran seorang pemuda yang jahil
Dengan
Fahaman atau pemikiran para imam mujtahiddin,
Yang kedua-duanya tidak maksum.


Perbezaannya hanyalah:
Yang satu terlalu jahil
Yang satu lagi sangat dalam ilmunya.


PHB : Sesungguhnya Allah s.w.t. tidak membebani dia melebihi kemampuannya.
(* Mengikut keputusan para Imam Mazhab bukanlah sesuatu yang di luar daripada kemampuan kita. Ini jawapan yang bukan jawapan)


DSR: Tolonglah jawab lah pertanyaan ini .
 Seorang mempunyai anak kecil yang sedang sakit panas. Menurut saranan semua doktor yang ada di kota , dia harus diberi ubat khusus dan mereka melarang orang tua si anak untuk mengubatinya dengan antibiotik. Merekapun telah memberitau kepada orang tua si anak sekiranya peraturan ini dilanggar, ia boleh menyebabkan kematian si anak.
Kemudia orang tua tersebut membaca lembaran tentang kesihatan dan menemukan keterangan bahawa antibiotik kadang-kadang bermanfaat untuk mengubat sakit panas. 
Dengan adanya lembaran ini, orang tua tersebut tidak mempedulikan lagi nasihat doktor. Kemudian dengan panggilan hatinya, ia merawat anaknya dengan antibiotik sehingga mengakibatkan kematian si anak.
Dengan tindakan ini, apakah orang tua tersebut berdosa atau tidak?


PHB : Saya kira masalah tersebut lain dengan masalah ini dan maksudnya pun berbeza dengan persoalan yang sedang kita bicarakan.
(*Si lelaki gagal menangkap tamsilan yang mudah ini, bagaimana agaknya dia mampu membandingkan hujah-hujah para imam mazhab?)

DSR: Masalah ini sama hakikatnya dengan hal yang sedang kita bicarakan.
Cuba anda perhatikan ! . Orang tua tersebut sudah mendengarkan ijma’ (kesepakatan ) para doktor , sebagaimana pemuda tadi juga telah mendengar ijma’ para ulama. Akan tetapi , orang tua tersebut berpegang pada selembaran buku kesihatan , sebagaimana pemuda tersebut melaksankan panggilan hatinya”.

PHB : Tuan, Al Quran adalah Nur. Nur Al Quran tidak dapat disamakan dengan yang lain.

DSR: Apakah pantulan Al Quran itu dapat difahami oleh yang membaca sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah s.w.t.? Kalau begitu apa bezanya antara ahli ilmu dan yang bukan ahli ilmu dalam menerima cahaya Al Quran?

PHB : Panggilan hati adalah yang paling asas/ pokok.

DSR: Orang tua tersebut telah melaksanakan panggilan hatinya sehingga kematian anaknya . Apakah ada pertanggungjawaban bagi orang tua itu baik dari segi syariat mahupun tuntunan hukum?.

PHB :Dia tidak dituntut apa-apa.
(*Jelas, pemikiran lelaki ini jauh terseleweng dan sukar untuk diperbetulkan lagi. Tuan Syeikh pun telah dapat apa yang dia pelrukan daripada perbincangan ini, maka dirasanya tak perlu lagi dipanjang-panjangkan kerana tidak akan membawa apa-apa faedah)


DSR: Dengan pernyataan anda  seperti ini , saya kira dialog dan diskusi ini kita cukuplah sampai di sini saja. Sudah putus jalan untuk menemukan pendapat kami dengan anda . Dengan jawaban anda yang sangat mengganjilkan itu, cukuplah kiranya kalau anda telah keluar dari ijma’ kaum muslimin”.
(*Sesiapa yang berpegang dengan fahaman seperti fahaman lelaki ini, maka Syeikh Ramadhan al-Buti menghukum mereka sebagai terkeluar daripada ijma’ kaum muslimin)



TAMAT DIALOG



Cuba anda renungkan. Seorang muslim yang jahil, hanya bersandarkan panggilan hatinya dalam memahami apa yang dia temukan dalam Al Quran, lalu dia mengerjakan solat menghadap ke arah selain kiblat dan menyalahi semua umat Islam, tetapi solatnya dianggap sah dan tidak apa-apa.
 Kemudian orang biasa dengan panggilan jiwanya  mengubati orang sakit  sekehendaknya, sehingga menyebabkan kematian orang yang dia ubati . Lalu atas perbuatannya itu, dia bebas daripada segala tuntutan.


Kalau begitu, mengapa mereka tidak membiarkan orang-orang jahil menggunakan panggilan hatinya untuk bertaqlid dan mengikut imam mujtahid, kerana mereka adalah lebih waspada daripada mereka yang jahil tentang urusan kitab Allah Azza w Jalla dan sunnah Rasulullah saw?
Pendapat ini mungkin salah menurut mereka , tetapi tercakup dalam pengertian memenuhi jiwa.


Setelah kami ungkapkan dialog kami dengan pemuda ajaib ini, kami ingin menghimbau para pembaca agar sedar dan insaf serta membebaskan diri daripada fanatik apabila pembaca ingin mengetahui perkara yang hak dengan segala alasan serta dalil-dalilnya , apa yang telah kami tulis dan kami jelaskan sudah cukup mengungkapkan perihal yang samar-samar dan menghilangkan semua hal yang meragukan.
Akan tetapi  kalau anda mempertahankan pendapat lantaran fanatik dan fanatik itu sudah menjadi watak dan karakter anda, berapa banyak pun dalil dan alasan yang saya tambah , tetap tidak ada gunanya untuk anda.
Sesungguhnya masalah anda bukanlah masalah kebodohan yang dapat dihilangkan dengan ilmu, tetapi masalah fanatik yang tidak mungkin dapat dilengkapkan , kecuali dengan cara melakukan koreksi peribadi yang tulus ikhlas di hadapan Allah Azza wajalla.


Terlepas dari golongan manakah anda berada, yang perlu kami ingatkan ialah kelompok masyarakat tempat anda melakukan dakwah, mengenai golongan yang sasaran dakwahnya tidak lagi ditujukan pada usaha perbaikan iman dan menghindarkan kekufuran, tetapi satu-satunya usha mereka lakukan ialah menyalakan api persengketaan dikalangan umat Islam manakala api sudah padam.
(*Begitulah umat Islam di Nusantara. Ratusan tahun hidup aman damai tanpa persengketaan ini, apabila datang saja golongan ini ke sini maka merebaklah pelbagai perbalahan yang tidak selesai-selesai. Musuh-musuh Islam tersenyum senang)


Mereka seolah-olah melakukan kegiatan pembahasan ilmiah (*kononnya) untuk mengungkapkan pokok-pokok pemikiran, tetapi tujuan utamanya hanya ingin memperdalamkan jurang perselisihan dan mencetuskan terjadinya permusuhan  dan perpecahan serta menjauhkan pola-pola berfikir yang sihat dalam segala persoalan . Inilah kenyataan yang dapat kita rasakan.


Lalu apa jalan keluar untuk menyelamatkan umat Islam  dari kenyataan ini dan bagaimana cara menghindarkan diri daripada sikap-sikap yang menunjukkan pertengkaran , permusuhan serta perpecahan?


Satu-satunya jalan adalah kembali pada norma-norma ilmiah setiap kali hendak melakukan kegiatan pembahasan dan jauh daripada sikap fanatic, atau adanya maksud lain yang mencampuri kemurnian ilmu pengetahuan.
Dengan cara ini , perselisihan akan lenyap , sedikit-demi sedikit kemudian larut  serta tidak ada kemungkinan bagi para penyeludup dari luar untuk mengiring ke dalam lembah perpecahan , hasad  dan sakit hati.


Dalam risalah ini , telah kami kemukakan penjelasan yang diperlukan untuk mengetahui mana yang benar dalam permasalahan ini.
Telah kami ungkapkan bahawa penulis buku , yakni Syekh Khajandi telah menukil keterangan yang tidak benar, bahkan bertentangan dengan kenyataan.


Pembaca pun telah mengetahui bahawa penjelasan para imam yang dinukil oleh Syekh Khajandi adalah bertolak belakang dengan apa yang dituduhkan oleh Syekh Khajandi .
Kami yakin bahawa para pembaca   telah mengikuti uraian (pemjelasan) kami dalam risalah ini dengan penuh perhatian dan pengharapan.


Demi Allah, orang yang iri dan tidak mempunyai keinsafan  mungkin menuduh kami melakukan pelanggaran dalam pembahasan sekadar sambil lalu serta main-main dalam menukil suatu keterangan  atau kurang professional dalam menukil suatu keterangan dan mengemukakan dalil .
Oleh kerana itu , kami mengajak pembaca untuk menuntut kebenaran yang selama ini selalu dipegang oleh JUMHUR KAUM MUSLIMIN setiap masa. Tegaklah berdiri sebagai pembela dalam mempertahankan kebenaran dengan memerangi segala macam sikap yang berlebihan.
(* Syeikh mengajak kita menjadi pembela. Sahutlah seruannya)

masalah bermazhab 1

Dalam ilmu usuhul fiqh, terdapat istilah penting yang berkaitan dengan masalah bermadzhab, yaitu ijtihad, taqlid dan talfiq.

1. Ijtihad

Ijtihad didefinisikan sebagai "upaya untuk menemukan hukum-hukum syariah (agama).

Untuk bisa mencapai taraf ijtihad, para ulama membuat beberapa persyaratan, yaitu :

1. Mengetahui arti ayat-ayat al-qur'an, baik dari segi bahasa maupun hukum.

2. Mengetahui hadist-hadist hukum, dan mengetahui maksudnya dari segi bahasa maupun hukum.

3. Mengetahui masalah nasikh dan mansukh (abrogasi dalam hukum qur'an dan hadist)

4. Mengetahui permasalahan-permasalahan yang telah terjadi konsensus para ulama mengenai hukumnya.

5. Mengetahui masalah analogi hukum Islam.

6. mengetahui bahasa Arab.

7. Mengetahui methodologi pengambilan hukum islam.

8. Mengetahui maqasid shariah (filsafat hukum Islam).

Itjihad dalam masalah-masalah agama senantiasa terbuka sampai kapan pun. Memang sering kita dengar isu bahwa pintu ijtihad telah tertutup, tapi kalau mau kita sadari, itu adalah isu yang menyesatkan, karena menutup pintu ijtihad sama saja dengan melarang orang berfikir.

Agama Islam adalah agama yang mengajak kebebasan berfikir dengan logika yang benar.

Imam Baghawi pernah mengatakan bahwa mencari ilmu untuk bisa mencapai tingkat ijtihad hukumnya fardlu kifayah.

Bila dalam satu masa, tidak ada orang yang mau mencari ilmu untuk meraih tingkat ijtihad maka, berdosalah seluruh umat Islam yang hidup pada saat itu.

Mencari solusi hukum islam untuk permasalahan-permasalahan baru di zaman sekarang juga termasuk ijtihad.

Ijtihad dibuka dalam segala bidang, termasuk dalam masalah-masalah ritual dan fiqh.

Hanya yang perlu diketahui di sini adalah ijtihad dengan cara,metodologi dan etika yang benar, sesuai dengan dalil-dalil yang ada.

2. Taqlid

Taqlid adalah mengambil pendapat ulama dengan tanpa mengetahui dalilnya. Mengambil satu hukum dengan referensi empat madzhab atau lainnya dengan tanpa mempelajari dalilnya, termasuk taqlid.

Taqlid boleh dilakukan oleh orang yang pengetahuan agamanya terbatas, sehingga tidak mempunyai kemampuan untuk bisa mengakses dalil-dalil yang ada. Taqlid boleh dilakukan hanya kepada ulama-ulama yang benar-benar mengetahui ilmu-ilmu agama dan taqlid yang terbaik adalah dengan disertai memperlajari dlail-dalil dari pendapat yang diikutinya.

Taqlid buta, meskipun ia tahu itu bertentangan dengan dalil yang ia ketahui, atau taqlid dengan fanatik, sehingga merasa benar seindiri, sangat dicela dalam agama.

Bidang yang diperbolehkan taqlid, menurut sebagian besar ulama, secara teoritis, adalah furu' (cabang-cabang fiqh), sedangkah masalah tauhid (keyakinan) tidak boleh taqlid.

Namun kalau dikaji secara empiris, tentu sulit untuk menerapkan ketentuan seperti itu. Masyarakat yang pengetahuannya terbatas dalam bidang apapun, pasti akan cenderung melakukan taqlid.

Bertaqlid kepada salah satu dari empat madzhab fiqh merupakan tindakan terpuji , karena muqallid (orang yang melakukan taqlid) tentu telah berkeyakinan bahwa madzhab yang dianutnya adalah yang terbaik bagi dirinya, artinya dari pertimbangan memperkecil keraguannya.

Namun fanatik dengan madzhab yang dianutnya merupakan perbuatan tercela, karena ini berarti menganggap madzhab lain salah. Muqallid harus tetap berkeyakinan bahwa di sana ada pendapat lain yang mungkin layak juga untuk dipakai.

Keuntungan dari menggunakan satu madzhab adalah dari aspek simplifikasi pengajaran. Orang awam tentu akan lebih mudah belajar dan diajari dengan pendekatan satu madzhab, karena ini tidak membingungkan.

Kerugiannya, antara lain:
terkadang taqlid dengan satu madzhab bisa merangsang fanatisme madzhab, apalagi pada kalangan awam yang tidak diberi wawasan agama yang baik.

Terkadang taqlid kepada satu madzhab juga memperberat penerapan hukum,aplagi bila kondisi tidak memungkinkan.

Sebagian besar ulama berpendapat tidak ada ketentuan yang mewajibkan bertaqlid kepada satu imam saja, namun boleh kepada imam lain yang diyakininya benar.

Pendapat ini juga dipakai oleh para ulama terkemuka saat ini, karena menghembuskan nafas keterbukaan dalam menerapkan hukum agama.

3. Talfiq

Permasalahan taqlid yang telah mengundang polemik ulama dari rentang waktu yang cukup panjang, pada sekitar abad ke-10 hijriyah telah mengantarkan kepada gagasan pembatasan taqlid, yaitu dengan konsep talfiq.

Mereka mengatakan bahwa taqlid sah apabila tidak mengantarkan kepada talfiq.

Talfiq didefinisikan : mencetuskan hukum dengan mengkombinasikan berbagai madzhab, sehingga hukum tersebut menjadi sama sekali baru, tidak ada seorang ulama pun yang mengatakannya. Mencampur-campur madzhab dengan sengaja dan mencetuskan hukum baru yang sama sekali tidak ada dalilnya, itulah yang lebih tepat disebut talfiq yang dicela agama.

Adapun berpindah madzhab dalam satu masalah agama dengan berlandasan kepada dalil atau karena kondisi tertentu, tidak lah termasuk talfiq.

Dalam menggunakan pendapat madzhab yang berbeda-beda yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut :

1. Tidak dengan sengaja mencari-cari yang mudah (sengaja mencari enaknya) dengan tujuan mempermainkan agama, apalagi yang mengantarkan kapada hukum baru yang sama sekali tidak dikatakan oleh salah seorang ulama.

Misalnya mengambil pendapat yang mengatakan boleh nikah tanpa wali, kemudian mengambil pendapat kedua yang mengatakan boleh nikah tanpa saksi, kemudian mengambil pendapat ketiga yang mengatakan sah nikah tanpa mahar, lalu mencetuskan pendapat "boleh nikah tanpa wali, saksi dan mahar". Pendapat ini tidak ada seorang pun ulama yang mengatakannya.

2. Tidak mengantarkan kepada pendapat baru yang sama sekali bertentangan dengan dalil.

3. Tidak memaksakan diri menggunakan pendapat yang telah diketahui atau diyakini kelemahnya.

4. Tidak boleh dalam satu ibadah, misalnya dalam wudlu mengambil mazhab Syafi'i dalam mengusap sebagain kepala, kemudian mengikuti mazhab Hanafi dalam masalah tidak batal memegang kemaluan, padahal tanpa mengetahui dalil masing-masing dan hanya bermazhab buta atau taqlid.