Selasa, 29 Mac 2011

masalah bermazhab 1

Dalam ilmu usuhul fiqh, terdapat istilah penting yang berkaitan dengan masalah bermadzhab, yaitu ijtihad, taqlid dan talfiq.

1. Ijtihad

Ijtihad didefinisikan sebagai "upaya untuk menemukan hukum-hukum syariah (agama).

Untuk bisa mencapai taraf ijtihad, para ulama membuat beberapa persyaratan, yaitu :

1. Mengetahui arti ayat-ayat al-qur'an, baik dari segi bahasa maupun hukum.

2. Mengetahui hadist-hadist hukum, dan mengetahui maksudnya dari segi bahasa maupun hukum.

3. Mengetahui masalah nasikh dan mansukh (abrogasi dalam hukum qur'an dan hadist)

4. Mengetahui permasalahan-permasalahan yang telah terjadi konsensus para ulama mengenai hukumnya.

5. Mengetahui masalah analogi hukum Islam.

6. mengetahui bahasa Arab.

7. Mengetahui methodologi pengambilan hukum islam.

8. Mengetahui maqasid shariah (filsafat hukum Islam).

Itjihad dalam masalah-masalah agama senantiasa terbuka sampai kapan pun. Memang sering kita dengar isu bahwa pintu ijtihad telah tertutup, tapi kalau mau kita sadari, itu adalah isu yang menyesatkan, karena menutup pintu ijtihad sama saja dengan melarang orang berfikir.

Agama Islam adalah agama yang mengajak kebebasan berfikir dengan logika yang benar.

Imam Baghawi pernah mengatakan bahwa mencari ilmu untuk bisa mencapai tingkat ijtihad hukumnya fardlu kifayah.

Bila dalam satu masa, tidak ada orang yang mau mencari ilmu untuk meraih tingkat ijtihad maka, berdosalah seluruh umat Islam yang hidup pada saat itu.

Mencari solusi hukum islam untuk permasalahan-permasalahan baru di zaman sekarang juga termasuk ijtihad.

Ijtihad dibuka dalam segala bidang, termasuk dalam masalah-masalah ritual dan fiqh.

Hanya yang perlu diketahui di sini adalah ijtihad dengan cara,metodologi dan etika yang benar, sesuai dengan dalil-dalil yang ada.

2. Taqlid

Taqlid adalah mengambil pendapat ulama dengan tanpa mengetahui dalilnya. Mengambil satu hukum dengan referensi empat madzhab atau lainnya dengan tanpa mempelajari dalilnya, termasuk taqlid.

Taqlid boleh dilakukan oleh orang yang pengetahuan agamanya terbatas, sehingga tidak mempunyai kemampuan untuk bisa mengakses dalil-dalil yang ada. Taqlid boleh dilakukan hanya kepada ulama-ulama yang benar-benar mengetahui ilmu-ilmu agama dan taqlid yang terbaik adalah dengan disertai memperlajari dlail-dalil dari pendapat yang diikutinya.

Taqlid buta, meskipun ia tahu itu bertentangan dengan dalil yang ia ketahui, atau taqlid dengan fanatik, sehingga merasa benar seindiri, sangat dicela dalam agama.

Bidang yang diperbolehkan taqlid, menurut sebagian besar ulama, secara teoritis, adalah furu' (cabang-cabang fiqh), sedangkah masalah tauhid (keyakinan) tidak boleh taqlid.

Namun kalau dikaji secara empiris, tentu sulit untuk menerapkan ketentuan seperti itu. Masyarakat yang pengetahuannya terbatas dalam bidang apapun, pasti akan cenderung melakukan taqlid.

Bertaqlid kepada salah satu dari empat madzhab fiqh merupakan tindakan terpuji , karena muqallid (orang yang melakukan taqlid) tentu telah berkeyakinan bahwa madzhab yang dianutnya adalah yang terbaik bagi dirinya, artinya dari pertimbangan memperkecil keraguannya.

Namun fanatik dengan madzhab yang dianutnya merupakan perbuatan tercela, karena ini berarti menganggap madzhab lain salah. Muqallid harus tetap berkeyakinan bahwa di sana ada pendapat lain yang mungkin layak juga untuk dipakai.

Keuntungan dari menggunakan satu madzhab adalah dari aspek simplifikasi pengajaran. Orang awam tentu akan lebih mudah belajar dan diajari dengan pendekatan satu madzhab, karena ini tidak membingungkan.

Kerugiannya, antara lain:
terkadang taqlid dengan satu madzhab bisa merangsang fanatisme madzhab, apalagi pada kalangan awam yang tidak diberi wawasan agama yang baik.

Terkadang taqlid kepada satu madzhab juga memperberat penerapan hukum,aplagi bila kondisi tidak memungkinkan.

Sebagian besar ulama berpendapat tidak ada ketentuan yang mewajibkan bertaqlid kepada satu imam saja, namun boleh kepada imam lain yang diyakininya benar.

Pendapat ini juga dipakai oleh para ulama terkemuka saat ini, karena menghembuskan nafas keterbukaan dalam menerapkan hukum agama.

3. Talfiq

Permasalahan taqlid yang telah mengundang polemik ulama dari rentang waktu yang cukup panjang, pada sekitar abad ke-10 hijriyah telah mengantarkan kepada gagasan pembatasan taqlid, yaitu dengan konsep talfiq.

Mereka mengatakan bahwa taqlid sah apabila tidak mengantarkan kepada talfiq.

Talfiq didefinisikan : mencetuskan hukum dengan mengkombinasikan berbagai madzhab, sehingga hukum tersebut menjadi sama sekali baru, tidak ada seorang ulama pun yang mengatakannya. Mencampur-campur madzhab dengan sengaja dan mencetuskan hukum baru yang sama sekali tidak ada dalilnya, itulah yang lebih tepat disebut talfiq yang dicela agama.

Adapun berpindah madzhab dalam satu masalah agama dengan berlandasan kepada dalil atau karena kondisi tertentu, tidak lah termasuk talfiq.

Dalam menggunakan pendapat madzhab yang berbeda-beda yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut :

1. Tidak dengan sengaja mencari-cari yang mudah (sengaja mencari enaknya) dengan tujuan mempermainkan agama, apalagi yang mengantarkan kapada hukum baru yang sama sekali tidak dikatakan oleh salah seorang ulama.

Misalnya mengambil pendapat yang mengatakan boleh nikah tanpa wali, kemudian mengambil pendapat kedua yang mengatakan boleh nikah tanpa saksi, kemudian mengambil pendapat ketiga yang mengatakan sah nikah tanpa mahar, lalu mencetuskan pendapat "boleh nikah tanpa wali, saksi dan mahar". Pendapat ini tidak ada seorang pun ulama yang mengatakannya.

2. Tidak mengantarkan kepada pendapat baru yang sama sekali bertentangan dengan dalil.

3. Tidak memaksakan diri menggunakan pendapat yang telah diketahui atau diyakini kelemahnya.

4. Tidak boleh dalam satu ibadah, misalnya dalam wudlu mengambil mazhab Syafi'i dalam mengusap sebagain kepala, kemudian mengikuti mazhab Hanafi dalam masalah tidak batal memegang kemaluan, padahal tanpa mengetahui dalil masing-masing dan hanya bermazhab buta atau taqlid.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan